Zaman dahulu kala,.
Saat masih berseragam Merah Putih (SD), hampir setiap tahun di tanggal 30 September rasa hati berdebar..
Film yang diputer setahun sekali itu terasa sangat dirindukan, meski takut-takut saat nonton, namun terasa asyik dan penuh makna..haha..lebay
Yap..
Saat itu orde baru, mengingatkan sejarah kelam bangsa Indonesia melalui film, dan memang sangat jitu dalam mengukir di hati pemirsa masyarakat dan bangsa Indonesia. Kenyataan sampai sekarang pun penulis masih bisa mengingat dengan jelas urutan film tersebut..dan mungkin ini terjadi pada setiap warga yang dibesarkan pada zaman itu..
Bagi yang penasaran bagaimana jalan cerita film yang mengisahkan Kesaktian Pancasila..silahkan dilihat dibawah ini..
Bagi yang penasaran bagaimana jalan cerita film yang mengisahkan Kesaktian Pancasila..silahkan dilihat dibawah ini..
Waktunya belajar lagi dari pengalaman..
Saat ini nilai tukar dolar telah mendekati angka Rp. 15.000,- atau tepatnya Rp. 14.680,- ini tentu berimbas pada segala hal.
Ancaman PHK, Kenaikan harga Sembako, Naiknya seluruh biaya dari Listrik, Gas, Air, Perumahan, Tiket dan lain-lain.
Diakui atau tidak, disiarkan Media atau tidak, pada kenyataan terjadi peningkatan kejahatan, entah perampokan, penjambretan, pembegalan, pembunuhan, korupsi semakin akut, narkoba semakin menggila.
Masalah sepele bisa berujung nyawa..
Yap..semoga dengan momentum Kesaktian Pancasila ini menjadi tonggak bergeraknya bangsa menuju kemakmuran rakyat dan keadilan bagi seluruh warga Indonesia.
Pancasila merupakan dasar negara yang telah
ditetapkan sejak Indonesia merdeka. Oleh karena itu, pancasila dijadikan sebagi
falsafah atau pandangan hidup bagi seluruh bangsa Indonesia. Dengan adanya
pancasila, Indonesia dapat menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara dengan
berpedoman pada landasan idiil Indonesia yaitu Pancasila. Jika kita
memperhatikan lambang pancasila dan butir– butir yang terkandung dalam
pancasila, dapat disimpulkan bahwa setiap bangsa mempunyai kepribadian dan
butir– butir pancasila itulah yang merupakan pencerminan kepribadian bangsa
Indonesia, sehingga Indonesia dapat dibedakan dengan bangsa lain karena ciri
khas yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Walaupun sejak dulu bangsa Indonesia
telah berinteraksi dengan berbagai peradaban dan kebudayaan bangsa lain, tetapi
kepribadian Indonesia tetap hidup dan berkembang.
Ideologi Komunis
-Komunisme adalah salah satu ideologi di
dunia. Komunisme sebagai anti kapitalisme menggunakan sistem sosialisme sebagai
alat kekuasaan sebagai Prinsip semua adalah milik rakyat dan dikuasai oleh
negara untuk kemakmuran rakyat secara merata.yang paling utama pula Komunis
sangat membatasi demokrasi pada rakyatnya sehingga Komunis juga disebut anti
liberalisme.Parahnya Komunis sangat membatasi agama pada rakyatnya, dengan
prinsip agama dianggap candu yang membuat orang berangan-angan yang membatasi
rakyatnya dari pemikiran yang rasional dan nyata. Ideologi Komunis bersifat
absolutisasi dan determinisme, karena memberi perhatian yang sangat besar kepada
kolektivitas atau masyarakat, kebebasan individu, hak milik pribadi tidak
diberi tempat dalam Negara Komunis.
Manusia dianggap sebagai “sekrup” dalam sebuah
kolektivitas.
Ideologi Liberal
Ajaran liberal bertitik tolak dari paham
individualisme (perorangan) yang mendasarkan hak dan kebebasan individu, yang
melekat pada manusia sejak lahir dan tidak dapat di ganggu siapapun. Paham
liberalisme tidak sesuai dengan pancasila yang memandang manusia sebagai
makhluk pribadi dan sekaligus makhluk sosial, sehingga dalam kehidupan
bermasyarakat wajib menyelaraskan kepentingan pribadinya dengan kewajibannnya
terhadap masyarakat. Pancasila adalah paham integralistik atau kekeluargaan
sehingga menolak individualisme.
Ideologi Pancasila
Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia
memiliki berbagai perbedaan dengan sistem ideologi liberal dan komunis.
Pancasila mengakui dan melindungi baik hak individu maupun masyarakat baik
dibidang ekonomi maupun dibidang politik. Dengan demikian ideologi kita
mengakui secara selaras baik kolektif maupun individualisme. Demokrasi yang
dikembangkan bukan semata politik seperti ideologi komunis tapi juga ekonomi
dalam sistem liberal dasar perekonomian bukan usaha bersama dan kekeluargaan
namun kebebasan individu.
Pada tanggal 30 September 1965, terjadi
insiden yang dinamakan Gerakan 30 September (G30S). Insiden ini sendiri masih
menjadi perdebatan di tengah lingkungan akademisi mengenai siapa penggiatnya
dan apa motif dibelakangnya. Akan tetapi otoritas militer dan kelompok religi
terbesar saat itu menyebarkan kabar bahwa insiden tersebut merupakan usaha PKI
mengubah unsur Pancasila menjadi ideologi komunis, untuk membubarkan Partai
Komunis Indonesia dan membenarkan peristiwa Pembantaian di Indonesia 1965–1966.
Pada hari itu, enam Jendral dan berberapa orang lainnya dibunuh oleh
oknum-oknum yang digambarkan pemerintah sebagai upaya kudeta. Gejolak yang
timbul akibat G30S sendiri pada akhirnya berhasil diredam oleh otoritas militer
Indonesia. Pemerintah Orde Baru kemudian menetapkan 30 September sebagai Hari
Peringatan Gerakan 30 September G30S dan tanggal 1 Oktober ditetapkan sebagai
Hari Kesaktian Pancasila.
Untuk mengetahui lebih lanjut tentang
kronologis adanya hari kesaktian pancasila maka perlu kita mengatahui siapakah
PKI itu dan apakah sebenarnya Gerakan 30 September itu....????
Partai Komunis Indonesia ( PKI )
Gerakan Awal PKI
Partai ini didirikan atas inisiatif tokoh
sosialis Belanda, Henk Sneevliet pada 1914, dengan nama Indische
Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV) (atau Persatuan Sosial Demokrat Hindia
Belanda). Keanggotaan awal ISDV pada dasarnya terdiri atas 85 anggota dari dua
partai sosialis Belanda, yaitu SDAP (Partai Buruh Sosial Demokratis) dan SDP
(Partai Sosial Demokratis), yang aktif di Hindia Belanda . Pada saat
pembentukannya, ISDV tidak menuntut kemerdekaan Indonesia. Pada saat itu, ISDV
mempunyai sekitar 100 orang anggota, dan dari semuanya itu hanya tiga orang
yang merupakan warga pribumi Indonesia. Namun demikian, partai ini dengan cepat
berkembang menjadi radikal dan anti kapitalis. Di bawah kepemimpinan Sneevliet,
ISDV yakin bahwa Revolusi Oktober seperti yang terjadi di Rusia harus diikuti
Indonesia. Kelompok ini berhasil mendapatkan pengikut di antara tentara-tentara
dan pelaut Belanda yang ditempatkan di Hindia Belanda. Dibentuklah
"Pengawal Merah" dan dalam waktu tiga bulan jumlah mereka telah mencapai
3.000 orang. Pada akhir 1917, para tentara dan pelaut itu memberontak di
Surabaya, sebuah pangkalan angkatan laut utama di Indonesia saat itu, dan
membentuk sebuah dewan soviet. Para penguasa kolonial menindas dewan-dewan
soviet di Surabaya dan ISDV. Para pemimpin ISDV dikirim kembali ke Belanda,
termasuk Sneevliet. Para pemimpin pemberontakan di kalangan militer Belanda
dijatuhi hukuman penjara hingga 40 tahun. ISDV terus melakukan kegiatannya,
meskipun dengan cara bergerak di bawah tanah. Setelah sejumlah kader Belanda
dikeluarkan dengan paksa, ditambah dengan pekerjaan di kalangan Sarekat Islam,
keanggotaan organisasi ini pun mulai berubah dari mayoritas warga Belanda
menjadi mayoritas orang Indonesia.
Pembentukan Partai Komunis
Pada awalnya PKI adalah gerakan yang
berasimilasi ke dalam Sarekat Islam. Keadaan yang semakin parah dimana ada
perselisihan antara para anggotanya, terutama di Semarang dan Yogyakarta
membuat Sarekat Islam melaksanakan disiplin partai. Yakni melarang anggotanya
mendapat gelar ganda di kancah perjuangan pergerakan indonesia. Keputusan
tersebut tentu saja membuat para anggota yang beraliran komunis kesal dan
keluar dari partai dan membentuk partai baru yang disebut ISDV. Pada Kongres
ISDV di Semarang (Mei 1920), nama organisasi ini diubah menjadi Perserikatan
Komunis di Hindia. Semaoen diangkat sebagai ketua partai. PKH adalah partai
komunis pertama di Asia yang menjadi bagian dari Komunis Internasional. Henk
Sneevliet mewakili partai ini pada kongresnya kedua Komunis Internasional pada
1920.Pada 1924 nama partai ini sekali lagi diubah, kali ini adalah menjadi Partai
Komunis Indonesia (PKI).
Pemberontakan 1926
Pada November 1926, PKI memimpin pemberontakan
melawan pemerintahan kolonial di Jawa Barat dan Sumatera Barat. PKI mengumumkan
terbentuknya sebuah republik. Pemberontakan ini dihancurkan dengan brutal oleh
penguasa kolonial. Ribuan orang dibunuh dan sekitar 13.000 orang ditahan.
Sejumlah 1.308 orang, umumnya kader-kader partai, dikirim ke Boven Digul,
sebuah kampung tahanan di Papua. Beberapa orang meninggal di dalam tahanan.
Banyak aktivis politik non-komunis yang juga menjadi sasaran pemerintahan
kolonial, dengan alasan menindas pemberontakan kaum komunis. Pada 1927 PKI
dinyatakan terlarang oleh pemerintahan Belanda. Karena itu, PKI kemudian
bergerak di bawah tanah.
Peristiwa Madiun 1948
Pada 8 Desember 1947 sampai 17 Januari 1948
pihak Republik Indonesia dan pendudukan
Belanda melakukan perundingan yang dikenal sebagai Perundingan Renville. Hasil
kesepakatan perundingan Renville dianggap menguntungkan posisi Belanda.
Sebaliknya,RI menjadi pihak yang dirugikan dengan semakin sempit wilayah yang
dimiliki. Oleh karena itu, kabinet Amir Syarifuddin diaggap merugikan bangsa,
kabinet tersebut dijatuhkan pada 23 Januari 1948. Ia terpaksa menyerahkan
mandatnya kepada presiden dan digantikan kabinet Hatta. Selanjutnya Amir
Syarifuddin membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR) pada 28 Juni 1948. Kelompok
politik ini berusaha menempatkan diri sebagai oposisi terhadap pemerintahan dibawah
kabinet Hatta. FDR bergabung dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) merencanakan
suatu perebutan kekuasaan. Beberapa aksi yang dijalankan kelompok ini
diantaranya dengan melancarkan propaganda antipemerintah, mengadakan
demonstrasi-demonstrasi, pemogokan, menculik dan membunuh lawan-lawan politik,
serta menggerakkan kerusuhan dibeberapa tempat. Sejalan dengan peristiwa itu,
datanglah Muso seorang tokoh komunis yang sejak lama berada di Moskow, Uni
Soviet. Ia menggabungkan diri dengan Amir Syarifuddin untuk menentang
pemerintah, bahkan ia berhasil mengambil alih pucuk pimpinan PKI. Setelah itu,
ia dan kawan-kawannya meningkatkan aksi teror, mengadu domba kesatuan-kesatuan
TNI dan menjelek-jelekkan kepemimpinan Soekarno-Hatta. Puncak aksi PKI adalah pemberotakan
terhadap RI pada 18 September 1948 di Madiun, Jawa Timur. Tujuan pemberontakan
itu adalah meruntuhkan negara RI dan menggantinya dengan negara komunis. Dalam
aksi ini beberapa pejabat, perwira TNI, pimpinan partai, alim ulama dan rakyat
yang dianggap musuh dibunuh dengan kejam. Tindakan kekejaman ini membuat rakyat
marah dan mengutuk PKI. Tokoh-tokoh pejuang dan pasukan TNI memang sedang
menghadapi Belanda, tetapi pemerintah RI mampu bertindak cepat. Panglima Besar
Soedirman memerintahkan Kolonel Gatot Subroto di Jawa Tengah dan Kolonel
Sungkono di Jawa Timur untuk menjalankan operasi penumpasan pemberontakan PKI.
Pada 30 September 1948, Madiun dapat diduduki kembali oleh TNI dan Polisi.
Dalam operasi ini Muso berhasil ditembak mati sedangkan Amir Syarifuddin dan
tokoh-tokoh lainnya ditangkap dan dijatuhi hukuman mati.
Bangkit kembali
Pada 1950, PKI memulai kembali kegiatan
penerbitannya. Pada 1950-an, PKI mengambil posisi sebagai partai nasionalis di
bawah pimpinan D.N. Aidit, dan mendukung kebijakan-kebijakan anti kolonialis
dan anti Barat yang diambil oleh Presiden Soekarno. Aidit dan kelompok di
sekitarnya, termasuk pemimpin-pemimpin muda seperti Sudisman, Lukman, Nyoto dan
Sakirman, menguasai pimpinan partai pada 1951. Di bawah Aidit, PKI berkembang
dengan sangat cepat, dari sekitar 3.000-5.000 anggota pada 1950, menjadi 165.000
pada 1954 dan bahkan 1,5 juta pada 1959 . Pada Agustus 1951, PKI memimpin
serangkaian pemogokan militan, yang diikuti oleh tindakan-tindakan tegas
terhadap PKI di Medan dan Jakarta. Akibatnya, para pemimpin PKI kembali
bergerak di bawah tanah untuk sementara waktu.
Pemilu 1955
Pada Pemilu 1955, PKI menempati tempat ke
empat di Konstituante. Pada Juli 1957, kantor PKI di Jakarta diserang dengan
granat. Pada bulan yang sama PKI memperoleh banyak kemajuan dalam
pemilihan-pemilihan di beberapa kota. Pada September 1957, Masjumi secara
terbuka menuntut supaya PKI dilarang. Pada 3 Desember 1957, serikat-serikat
buruh yang pada umumnya berada di bawah pengaruh PKI, mulai menguasai
perusahaan-perusahaan milik Belanda. Penguasaan ini merintis nasionalisasi atas
perusahaan-perusahaan yang dimiliki oleh asing. Perjuangan melawan para
kapitalis asing memberikan PKI kesempatan untuk menampilkan diri sebagai sebuah
partai nasional. Pada Februari 1958 terjadi sebuah upaya koreksi terhadap
kebijakan Sukarno yang mulai condong ke timur di kalangan militer dan politik
sayap kanan. Mereka juga menuntut agar pemerintah pusat konsisten dalam
melaksanakan UUDS 1950, selain itu pembagian hasil bumi yang tidak merata
antara pusat dan daerah menjadi pemicu. Gerakan yang berbasis di Sumatera dan
Sulawesi, mengumumkan pada 15 Februari 1958 telah terbentuk Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia
(PRRI). Pemerintahan yang disebut
revolusioner ini segera menangkapi ribuan kader PKI di wilayah-wilayah
yang berada di bawah kontrol mereka. PKI mendukung upaya-upaya Soekarno untuk
memadamkan gerakan ini, termasuk pemberlakuan Undang-Undang Darurat. Gerakan
ini pada akhirnya berhasil dipadamkan.
Pada 1959, militer berusaha menghalangi
diselenggarakannya kongres PKI. Namun demikian, kongres ini berlangsung sesuai dengan
jadwal dan Presiden Soekarno sendiri memberi angin pada komunis dalam
sambutannya.
Pada bulan Juli 1959 parlemen dibubarkan dan
Soekarno menetapkan konstitusi di bawah dekrit presiden - sekali lagi dengan
dukungan penuh dari PKI. Ia memperkuat tangan angkatan bersenjata dengan
mengangkat para jendral militer ke posisi-posisi yang penting. Sukarno
menjalankan sistem "Demokrasi Terpimpin". PKI menyambut
"Demokrasi Terpimpin" Sukarno dengan hangat dan anggapan bahwa dia
mempunyai mandat untuk persekutuan Konsepsi yaitu antara Nasionalis, Agama dan
Komunis yang dinamakan`NASAKOM
Pada era "Demokrasi Terpimpin",
kolaborasi antara kepemimpinan PKI dan kaum burjuis nasional dalam menekan
pergerakan-pergerakan independen kaum buruh dan petani, gagal memecahkan
masalah-masalah politis dan ekonomi yang mendesak. Pendapatan ekspor menurun,
foreign reserves menurun, inflasi terus menaik dan korupsi birokrat dan militer
menjadi wabah. Salah satu hal yang sangat aneh yang dilakukan PKI adalah dengan
diusulkannya Angkatan ke-5 yang terdiri dari buruh dan petani, kemungkinan
besar PKI ingin mempunyai semacam militer partai seperti Partai Komunis Cina
dan Nazi dengan SS nya. Hal inilah yang membuat TNI AD merasa khawatir takut adanya
penyelewengan senjata yang dilakukan PKI dengan "tentaranya".
ANGKATAN KELIMA
Perayaan Milad PKI yang ke 45 di Jakarta pada
awal tahun 1965. PKI telah menguasai banyak dari organisasi massa yang dibentuk
Soekarno untuk memperkuat dukungan untuk rezim Demokrasi Terpimpin dan, dengan
persetujuan dari Soekarno, memulai kampanye untuk membentuk "Angkatan
Kelima" dengan mempersenjatai pendukungnya. Para petinggi militer
menentang hal ini. Dari tahun 1963, kepemimpinan PKI makin lama makin berusaha
menghindari bentrokan-bentrokan antara aktivis massanya dan polisi dan militer.
Pemimpin-pemimpin PKI mementingkan "kepentingan bersama" polisi dan
"rakyat. Di bulan Agustus 1964, Aidit menganjurkan semua anggota PKI
membersihkan diri dari "sikap-sikap sektarian" kepada angkatan
bersenjata, mengimbau semua pengarang dan seniman sayap-kiri untuk membuat
"massa tentara" subyek karya-karya mereka. Di akhir 1964 dan
permulaan 1965 ratusan ribu petani bergerak merampas tanah dari para tuan tanah
besar. Bentrokan-bentrokan besar terjadi antara mereka dan polisi dan para
pemilik tanah. Untuk mencegah berkembangnya konfrontasi revolusioner itu, PKI
mengimbau semua pendukungnya untuk mencegah pertentangan menggunakan kekerasan
terhadap para pemilik tanah dan untuk meningkatkan kerjasama dengan unsur-unsur
lain, termasuk angkatan bersenjata. Pada permulaan 1965, para buruh mulai
menyita perusahaan-perusahaan karet dan minyak milik AS. Kepemimpinan PKI
menjawab ini dengan memasuki pemerintahan dengan resmi. Pada waktu yang sama,
jendral-jendral militer tingkat tinggi juga menjadi anggota kabinet.
Menteri-menteri PKI tidak hanya duduk di sebelah para petinggi militer di dalam
kabinet Sukarno ini, tetapi mereka terus mendorong ilusi yang sangat berbahaya
bahwa angkatan bersenjata adalah merupakan bagian dari revolusi demokratis
"rakyat". Aidit memberikan ceramah kepada siswa-siswa sekolah
angkatan bersenjata di mana ia berbicara tentang "perasaan kebersamaan dan
persatuan yang bertambah kuat setiap hari antara tentara Republik Indonesia dan
unsur-unsur masyarakat Indonesia, termasuk para komunis". Rejim Sukarno
mengambil langkah terhadap para pekerja dengan melarang aksi-aksi mogok di
industri. Kepemimpinan PKI tidak berkeberatan karena industri menurut mereka
adalah milik pemerintahan NASAKOM. Tidak lama PKI mengetahui dengan jelas
persiapan-persiapan untuk pembentukan rejim militer, menyatakan keperluan untuk
pendirian "angkatan kelima" di dalam angkatan bersenjata, yang
terdiri dari pekerja dan petani yang bersenjata. Bukannya memperjuangkan
mobilisasi massa yang berdiri sendiri untuk melawan ancaman militer yang sedang
berkembang itu, kepemimpinan PKI malah berusaha untuk membatasi pergerakan
massa yang makin mendalam ini dalam batas-batas hukum kapitalis negara. Mereka,
depan jendral-jendral militer, berusaha menenangkan bahwa usul PKI akan
memperkuat negara. Aidit menyatakan dalam laporan ke Komite Sentral PKI bahwa
"NASAKOMisasi" angkatan bersenjata dapat dicapai dan mereka akan
bekerjasama untuk menciptakan "angkatan kelima". Kepemimpinan PKI
tetap berusaha menekan aspirasi revolusioner kaum buruh di Indonesia. Di bulan
Mei 1965, Politbiro PKI masih mendorong ilusi bahwa aparatus militer dan negara
sedang diubah untuk memecilkan aspek anti-rakyat dalam alat-alat negara.
GERAKAN 30 SEPTEMBER
Pengertian
Gerakan 30 September (dahulu juga disingkat G
30 S PKI,G-30S/PKI), Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh), Gestok (Gerakan
Satu Oktober) adalah sebuah peristiwa yang terjadi selewat malam tanggal 30
September sampai di awal 1 Oktober 1965 di mana enam perwira tinggi militer
Indonesia beserta beberapa orang lainnya dibunuh dalam suatu usaha percobaan
kudeta yang kemudian dituduhkan kepada anggota Partai Komunis Indonesia.
Latar Belakang terjadinya gerakan 30 september
Di akhir 1964 dan permulaan 1965 ribuan petani
bergerak merampas tanah yang bukan hak mereka. Bentrokan-bentrokan besar
terjadi antara polisi dan para pemilik tanah. Pada permulaan 1965, para buruh
mulai menyita perusahaan-perusahaan karet dan minyak milik Amerika Serikat. (
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya)
Isu sakitnya Bung Karno
Sejak tahun 1964 sampai menjelang meletusnya
G30S telah beredar isu sakit parahnya Bung Karno. Hal ini meningkatkan
kasak-kusuk dan isu perebutan kekuasaan apabila Bung Karno meninggal dunia.
Namun menurut Subandrio, Aidit tahu persis bahwa Bung Karno hanya sakit ringan
saja, jadi hal ini bukan merupakan alasan PKI melakukan tindakan tersebut.
Isu masalah tanah dan bagi hasil
Pada tahun 1960 keluarlah Undang-Undang Pokok
Agraria (UU Pokok Agraria) dan Undang-Undang Pokok Bagi Hasil (UU Bagi Hasil)
yang sebenarnya merupakan kelanjutan dari Panitia Agraria yang dibentuk pada
tahun 1948. Panitia Agraria yang menghasilkan UUPA terdiri dari wakil
pemerintah dan wakil berbagai ormas tani yang mencerminkan 10 kekuatan partai
politik pada masa itu. Walaupun undang-undangnya sudah ada namun pelaksanaan di
daerah tidak jalan sehingga menimbulkan gesekan antara para petani penggarap
dengan pihak pemilik tanah yang takut terkena UUPA, melibatkan sebagian massa
pengikutnya dengan melibatkan backing aparat keamanan. Peristiwa yang menonjol
dalam rangka ini antara lain peristiwa Bandar Betsi di Sumatera Utara dan peristiwa
di Klaten yang disebut sebagai ‘aksi sepihak’ dan kemudian digunakan sebagai
dalih oleh militer untuk membersihkannya. Keributan antara PKI dan Islam (tidak
hanya NU, tapi juga dengan Persis dan Muhammadiyah) itu pada dasarnya terjadi
di hampir semua tempat di Indonesia, di Jawa Barat, Jawa Timur, dan di
propinsi-propinsi lain juga terjadi hal demikian, PKI di beberapa tempat bahkan
sudah mengancam kyai-kyai bahwa mereka akan disembelih setelah tanggal 30
September 1965 (hal ini membuktikan bahwa seluruh elemen PKI mengetahui rencana
kudeta 30 September tersebut ).
Faktor Malaysia
Negara malaysia adalah salah satu faktor
penting dalam insiden ini. Konfrontasi Indonesia-Malaysia merupakan salah satu
penyebab kedekatan Presiden Soekarno dengan PKI, menjelaskan motivasi para
tentara yang menggabungkan diri dalam gerakan G30S/Gestok (Gerakan Satu
Oktober), dan juga pada akhirnya menyebabkan PKI melakukan penculikan petinggi
Angkatan Darat.
Sejak demonstrasi anti-Indonesia di Kuala
Lumpur, di mana para demonstran menyerbu gedung KBRI, merobek-robek foto
Soekarno, membawa lambang negara Garuda Pancasila ke hadapan Tunku Abdul Rahman
Perdana Menteri Malaysia saat itu dan memaksanya untuk menginjak Garuda, amarah
Soekarno terhadap Malaysia pun meledak. Soekarno yang murka karena hal itu
mengutuk tindakan Tunku yang menginjak-injak
lambang negara Indonesia dan ingin melakukan balas dendam dengan
melancarkan gerakan yang terkenal dengan sebutan "Ganyang Malaysia"
kepada negara. Perintah Soekarno kepada Angkatan Darat untuk“mengganyang
Malaysia" ditanggapi dengan dingin oleh para jenderal pada saat itu. Di
satu pihak Letjen Ahmad Yani tidak ingin melawan Malaysia yang dibantu oleh
Inggris dengan anggapan bahwa tentara Indonesia pada saat itu tidak memadai
untuk peperangan dengan skala tersebut, sedangkan di pihak lain Kepala Staf TNI
Angkatan Darat A.H. Nasution setuju
dengan usulan Soekarno karena ia mengkhawatirkan isu Malaysia ini akan
ditunggangi oleh PKI untuk memperkuat posisinya di percaturan politik di
Indonesia. Akhirnya para pemimpin Angkatan Darat memilih untuk berperang setengah
hati di Kalimantan. Mengetahui bahwa tentara Indonesia tidak mendukungnya,
Soekarno merasa kecewa dan berbalik mencari dukungan PKI untuk melampiaskan
amarahnya kepada Malaysia. Di pihak PKI, mereka menjadi pendukung terbesar
gerakan "ganyang Malaysia" yang mereka anggap sebagai antek Inggris,
antek nekolim. PKI juga memanfaatkan
kesempatan itu untuk keuntungan mereka sendiri, jadi motif PKI untuk mendukung
kebijakan Soekarno tidak sepenuhnya idealis. Pada saat PKI memperoleh angin
segar, justru para penentangnyalah yang menghadapi keadaan yang buruk; mereka
melihat posisi PKI yang semakin menguat sebagai suatu ancaman, ditambah
hubungan internasional PKI dengan Partai Komunis sedunia, khususnya dengan
adanya poros Jakarta-Beijing-Moskow-Pyongyang-Phnom Penh. Soekarno juga
mengetahui hal ini, namun ia memutuskan untuk mendiamkannya karena ia masih
ingin meminjam kekuatan PKI untuk konfrontasi yang sedang berlangsung, karena
posisi Indonesia yang melemah di lingkungan internasional sejak keluarnya
Indonesia dari PBB (20 Januari 1965). Dari pihak Angkatan Darat, perpecahan
internal yang terjadi mulai mencuat ketika banyak tentara yang kebanyakan dari
Divisi Diponegoro yang kesal serta kecewa kepada sikap petinggi Angkatan Darat
yang takut kepada Malaysia, berperang hanya dengan setengah hati, dan
berkhianat terhadap misi yang diberikan Soekarno. Mereka memutuskan untuk
berhubungan dengan orang-orang dari PKI untuk membersihkan tubuh Angkatan Darat
dari para jenderal ini.
Faktor ekonomi
Ekonomi masyarakat Indonesia pada waktu itu
yang sangat rendah mengakibatkan dukungan rakyat kepada Soekarno (dan PKI)
meluntur. Mereka tidak sepenuhnya menyetujui kebijakan "ganyang
Malaysia" yang dianggap akan semakin memperparah keadaan Indonesia. Inflasi
yang mencapai 650% membuat harga makanan melambung tinggi, rakyat kelaparan dan
terpaksa harus antri beras, minyak, gula, dan barang-barang kebutuhan pokok
lainnya. Beberapa faktor yang berperan kenaikan harga ini adalah keputusan
Suharto-Nasution untuk menaikkan gaji para tentara 500% dan penganiayaan
terhadap kaum pedagang Tionghoa yang menyebabkan mereka kabur. Sebagai akibat
dari inflasi tersebut, hidup rakyat indonesia banyak yang begitu menderita
.Faktor ekonomi ini menjadi salah satu sebab kemarahan rakyat atas pembunuhan
keenam jenderal tersebut, yang berakibat adanya backlash terhadap PKI dan
pembantaian orang-orang yang dituduh anggota PKI di Jawa Tengah, Jawa Timur,
Bali serta tempat-tempat lainnya.
PERISTIWA YANG TERJADI
Isu
Dewan Jenderal
Pada saat-saat genting sekitar bulan September
1965 muncul isu adanya Dewan Jenderal, yang mengungkapkan bahwa para petinggi
Angkatan Darat tidak puas terhadap Sukarno dan berniat untuk menggulingkannya.
Menanggapi isu ini, Soekarno memerintahkan pasukan Cakrabirawa untuk menangkap
dan membawa mereka untuk diadili. Namun secara tak terduga, dalam operasi
penangkapan tersebut para jenderal tersebut terbunuh.
Isu Dokumen Gilchrist
Dokumen Gilchrist diambil dari nama duta besar
Inggris untuk Indonesia, Andrew Gilchrist. Beredar hampir bersamaan waktunya
dengan isu Dewan Jenderal. Dokumen ini oleh beberapa pihak dianggap pemalsuan.
Di bawah pengawasan Jenderal Agayant dari KGB Rusia, dokumen ini menyebutkan
adanya "Teman Tentara Lokal Kita" yang mengesankan bahwa
perwira-perwira Angkatan Darat telah dibeli oleh pihak Barat. Kedutaan Amerika
Serikat juga dituduh memberi daftar nama anggota PKI kepada tentara untuk
"ditindaklanjuti".
Isu Keterlibatan Soeharto
Hingga saat ini tidak ada bukti keterlibatan/peran
aktif Soeharto dalam aksi penculikan tersebut. Satu-satunya bukti yang bisa
dielaborasi adalah pertemuan Soeharto yang saat itu menjabat sebagai
Pangkostrad (pada zaman itu jabatan Panglima Komando Strategis Cadangan
Angkatan Darat tidak membawahi pasukan, berbeda dengan sekarang) dengan Kolonel
Abdul Latief di Rumah Sakit Angkatan Darat.
PERISTIWA TANGGAL 30 SEPTEMBER 1965
Lewat tengah malam tanggal 30 september 1965
terjadi kesibukan di pinggiran kota, di desa Lubang Buaya, kompleks Pangkalan
Udara Utama Halim Perdanakusuma, Berkumpul aktivis utama Gerakan 30 September ;
Letkol Untung, Brigjen Supardjo, Kolonel Latief (AD). Letkol Heru Atmodj, Mayor
Sujono dan Mayor Gatot Sukrisno (AU). Aidit dan Sjam (PKI). Satu batalyon
Cakrabirawa, batalyon Raider 454 Diponegoro, batalyon Raider 530 Brawijaya, dua
peleton brigade Latief, pasukan darat AU, unsure-unsur Pemuda Rakyat dan
Gerwani. komandan Batalyon pasukan pengawal istana Cakrabirawa, Letnan Kolonel
Untung menggerakkan pasukannya untuk menculik beberapa perwira tinggi AD yakni
Men. Pangad Letjen Ahmad Yani, Mayjen Haryono M.T., Mayjen S.Parman, Mayjen Suprapto,
Brigjen D.I. Panjaitan, Brigjen Sutoyo Siswomihardjo Dan Menko Hankam/Kasad
Jenderal a.h. Nasution. Jendral nasution.
PERISTIWA TANGGAL 1 OKTOBER 1965
Dini hari : tujuh regu yang terutama terdiri
dari prajurit Cakrabirawa dan sejumlah kecil sukarelawan Pemuda Rakyat
mendatangi rumah 7 perwira AD, dengan perintah menangkap dan membawanya ke
Halim. (Yani, Harjono dan Panjaitan dibunuh dirumahnya karena melawan, Suprato,
Parman dan Sutoyo dibawa ke Halim dalam keadaan hidup, Nasution mampu
meloloskan diri). Dalam waktu yang bersamaan batalyon raider menduduki Lapangan
Merdeka, menguasai istana Presiden, gedung RRI dan pusat Telkom dan Bangunan
Tugu Nasional.
05.30 : Suharto dibangunkan tetangganya
Mashuri, memberi tahu “kejadian yang luar biasa terjadi di rumah Nasution dan
Panjaitan”.
06.30 :
Suharto di markas Kostrad, Umar menelpon menyampaikan beberapa informasi dan
mendesak Suharto sementara memegang komando atas AD.
07.15 : Pihak pemberontak mengumumkan melalui
RRI bahwa Gerakan 30 September adalah suatu kelompok militer yang telah
bertindak untuk melindungi Sukarno dari kudeta yang direncanakan oleh suatu
dewan yang terdiri atas jendral-jendral yang korup dan menjadi kaki tangan CIA.
09.00 : Dari rumah istri ketiganya Ratna Sari
Dewi, Sukarno menuju istana kepresidenan, tetapi membelokkan arah perjalanannya
ke Halim setelah mendapat laporan ada pasukan tak dikenal di Lapangan Merdeka.
Tiba di Halim ia disambut Omar Dhani dan tokoh pemberontak lainnya. Di Halim
presiden kemudian memanggil panglima 4 angkatan guna mengadakan konsultasi.
11.00 : Gerakan 30 September kembali
menyiarkan pengumuman di RRI bahwa ; telah
dibentuk sebuah Dewan Revolusi yang akan “
merupakan sumber segala kekuasaan dalam Republik Indonesia”.
14.00 : Para prajurit dua batalyon raider yang
menduduki Lapangan Merdeka kepanasan, lelah, lapar dan haus. Para pemimpin
kudeta tidak mengirim perbekalan. Suharto membujuk supaya pasukan Brawijaya
datang ke markas Kostrad.
16.00 : Sukarno memanggil Umar dan Pranoto
untuk datang ke Halim, tetapi Suharto melarang 2 jendral ini pergi. Sukarno
kemudian menyusun sebuah pernyataan bahwa dia sendiri mengambil alih pimpinan
AD. Batalyon raiders Brawijaya bergabung ke Kostrad. Batalyon raider Diponegoro
mundur ke Halim. Suharto kembali menguasai pusat Jakarta tanpa tembakan peluru.
Ketika Martadinata tiba di RRI untuk menyiarkan pernyataan Sukarno, RRI sudah
diambil alih dan Suharto melarang penyiarannya.
19.30 : Setelah seharian sembunyi Nasution
akhirnya bergabung di Kostrad. Sukarno mengirim Bambang Widjonarko untuk
menjemput Pranoto ke Halim. Suharto melarang Pranoto dan berpesan kepada
Bambang supaya mengusahakan agar presiden meninggalkan Halim karena pasukan
Kostrad akan merebut pangkalan udara itu dengan kekerasan.
20.15 : Dinas penerangan AD menyiarkan
pengumuman di RRI bahwa ;
suatu “gerakan kontra revolusi” telah menculik
Yani dan 5 jendral lainnya. Pimpinan AD sementara waktu dipegang oleh
Suharto dan presiden serta jendral Nasution
dalam keadaan aman.
22.00 : Sukarno meninggalkan Halim menuju
istana Bogor. Aidit meninggalkan Halim menuju Jawa Tengah. Omar Dhani terbang
ke Madiun. Untung meninggalkan pasukannya dan sembunyi di Jakarta.
Tengah Malam : Pemberontakan yang aneh itu
berakhir dan sebuah drama besar mulai mengawali kisahnya.
KORBAN
Keenam pejabat tinggi yang dibunuh tersebut
adalah:
- Letjen TNI Ahmad Yani (Menteri/Panglima Angkatan Darat/Kepala Staf Komando Operasi Tertinggi)
- Mayjen TNI Raden Suprapto (Deputi II Menteri/Panglima AD bidang Administrasi)
- Mayjen TNI Mas Tirtodarmo Haryono (Deputi III Menteri/Panglima AD bidang Perencanaan dan Pembinaan)
- Mayjen TNI Siswondo Parman (Asisten I Menteri/Panglima AD bidang Intelijen)
- Brigjen TNI Donald Isaac Panjaitan (Asisten IV Menteri/Panglima AD bidang Logistik)
- Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo (Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal Angkatan Darat Jenderal TNI Abdul Harris Nasution yang menjadi sasaran utama, selamat dari upaya pembunuhan tersebut. Sebaliknya, putrinya Ade Irma Suryani Nasution dan ajudan beliau, Lettu CZI Pierre Andreas Tendean tewas dalam usaha pembunuhan tersebut.
- Bripka Karel Satsuit Tubun (Pengawal kediaman resmi Wakil Perdana Menteri II dr.J. Leimena)
- Kolonel Katamso Darmokusumo (Komandan Korem 072/Pamungkas, Yogyakarta)
- Letkol Sugiyono Mangunwiyoto (Kepala Staf Korem 072/Pamungkas, Yogyakarta)
KRONOLOGIS PENUMPASAN PKI
Operasi penumpasan G 30 S/PKI dimulai sejak
tanggal 1 Oktober 1965 sore hari. Gedung RRI pusat dan Kantor Pusat
Telekomunikasi dapat direbut kembali tanpa pertumpahan darah oleh satuan RPKAD
di bawah pimpinan Kolonel Sarwo Edhi Wibowo, pasukan Para Kujang/328 Siliwangi,
dan dibantu pasukan kavaleri. Setelah diketahui bahwa basis G 30 S/PKI berada
di sekitar Halim Perdana Kusuma, sasaran diarahkan ke sana.
Tanggal 2 Oktober 1965, Halim Perdana Kusuma
diserang oleh satuan RPKAD di bawah komando Kolonel Sarwo Edhi Wibowo atas
perintah Mayjen Soeharto. Pada pikul 12.00 siang, seluruh tempat itu telah
berhasil dikuasai oleh TNI.
Tanggal 3 Oktober 1965 Pada hari Minggu
tanggal 3 Oktober 1965, pasukan RPKAD yang dipimpin oleh Mayor C.I Santoso
berhasil menguasai daerah Lubang Buaya. Setelah usaha pencarian perwira TNI AD
dipergiat dan atas petunjuk Kopral Satu Polisi Sukirman yang menjadi tawanan G
30 S/PKI, tetapi berhasil melarikan diri didapat keterangan bahwa para perwira
TNI AD tersebut dibawah ke Lubang Buaya.
Karena daerah terebut diselidiki secara intensif,
akhirnya pada tanggal 3 Oktober 1965 ditemukan tempat para perwira yang diculik
dan dibunuh tersebut. Mayat para perwira itu dimasukkan ke dalam sebuah sumur
yang bergaris tengah ¾ meter dengan kedalaman kira– kira 12 meter kemudian di
timbun dengan sampah kering, batang pohon pisang, daun singkong dan tanah
secara berselang seling, yang kemudian dikenal dengan nama Sumur Lubang Buaya.
Tanggal 4 Oktober 1965, penggalian Sumur
Lubang Buaya dilanjutkan kembali (karena ditunda pada tanggal 3 Oktober pukul
17.00 WIB hingga keesokan hari) yang diteruskan oleh pasukan Para Amfibi KKO–
AL dengan disaksikan pimpinan sementara TNI– AD Mayjen Soeharto. Jenazah para
perwira setelah dapat diangkat dari sumur tua tersebut terlihat adanya
kerusakan fisik yang sedemikian rupa. Hal inilah yang menjadi saksi bisu bagi
bangsa Indonesia betapa kejamnya siksaan yang mereka alami sebelum wafat.
Lubang buaya telah menggoncangkan sendi-sendi susila bangsa indonesia. Bukan
hanya para Pahlawan Revolusi yang teraniaya di Lubang Buaya menurut perasaan
rakyat, melainkan kepribadian Indonesia itu sendiri yang telah di injak-injak
dan dilemparkan ke dalam sumur tua yang dalam, gelap dan menjijikkan. Suatu
peristiwa malapetaka bagi indonesia.
Tanggal 5 Oktober 1965, jenazah para perwira
TNI– AD tersebut dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata yang sebelumnya
disemayamkan di Markas Besar Angkatan Darat.
Tanggal 6 Oktober 1965, dengan surat keputusan
pemerintah yang diambil dalam Sidang Kabinet Dwikora, para perwira TNI– AD
tersebut ditetapkan sebagai Pahlawan Revolusi. Gerakan 30 September atau yang
sering disingkat G 30 S PKI adalah sebuah kejadian yang terjadi pada tanggal 30
September 1965 di mana enam pejabat tinggi militer Indonesia beserta beberapa
orang lainnya dibunuh dalam suatu usaha pemberontakan yang disebut sebagai
usaha kudeta yang dituduhkan kepada anggota Partai Komunis Indonesia.
Dan Masihkah PKI hadir di Indonesia.?
Berikut buktinya :
Seperti dilansir Kompas (15/08/2015), daerah pertama adalah Kabupaten Pamekasan Jawa Timur. Di sini simbol PKI dibawa oleh peserta karnaval dalam rangka memperingati HUT ke-70 RI. Mereka membawa gambar-gambar tokoh PKI seperti Aidit dalam pose terbakar lengkap dengan logo palu arit dan tulisan DIPO NUSANTARA AIDIT. Bahkan ada peserta yang membawa tulisan dengan kalimat 'Saya Anggota PKI'.
Tulisan diambil dari : https://www.academia.edu/8312812/MAKALAH_MAKNA_HARI_KESAKTIAN_PANCASILA.